Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Saturday, October 3, 2015

Cerpen Fitri Yani di Lampung Post, 27 September 2015

Bunga Matahari di Tengah Hujan
Cerpen Fitri Yani

Hampir seluruh tanaman di taman itu adalah bunga matahari. Ada juga sebatang akasia di dekat pintu masuk dan sebuah kedai yang menjual minuman serta makanan ringan. Kedai itu dibuat dari kayu mahoni dengan atap ijuk enau, diplitur dan dicat cokelat tua sehingga tampak klasik dan bersih. Seorang lelaki muda di dalamnya sendiri membaca surat kabar sambil sesekali memperhatikan hujan yang jatuh di kelopak-kelopak bunga matahari. Di tengah-tengah taman, di dekat sebuah pohon besar yang usianya hampir seratus tahun, terdapat replika kapal terdampar yang di sekelilingnya dipagar dengan rantai. Ketika sore hari dan cuaca cerah, selalu ada anggota keluarga yang duduk di pinggirnya, menyeruput es krim sambil berfoto. Mereka menyukai bunga-bunga matahari yang sedang mekar dan rumput-rumput teki yang bersih di sekitar replika kapal.
Ara dan Juan sedang berteduh di sebuah pondok di pingir taman. Bunga-bunga matahari tampak seperti sekelompok penari balet yang sedang berbaris di atas panggung. Kepala mereka bergerak-gerak mengikuti irama musik, sesekali menghentak dan membungkuk. Tangan-tangan mereka terkulai dan saling menggapai satu sama lain.
Ara duduk memain-mainkan daun kering yang ia pungut dari atas rumput di bawah kakinya. Di sebelahnya, Juan sedang membaca, dan di sebelahnya lagi, sebuah tas punggung hitam disenderkan pada bangku semen.
“Aku ingin makan sesuatu, cokelat misalnya,” kata Ara.
“Nanti saja, masih hujan,” balas Juan tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
“Aku mau ke kedai, mau beli makanan dan minuman.”
Juan tetap membaca, sesekali membalik halaman buku yang salmpulnya berwarna bitu tua.
“Hujannya masih deras,” kata Juan.
Ara beranjak dari bangku dan meninggalkan Juan dengan bacaanya. Laki-laki muda pemilik kedai meletakkan surat kabarnya saat melihat Ara berlari-lari kecil sambil menutup kepalanya dengan telapak tangan. Ia melepas kacamatanya dan menawarkan sekotak tisu ketika Ara telah tiba di kedainya.
“Terima kasih,” ujar Ara sambil meraih tisu. “Saya mau beli cokelat hitam.”
“Iya, ada.”
Laki-laki itu membuka lemari kaca di sampingnya, mengambil sebatang cokelat.
Ara menepis pelipisnya yang kena air hujan, memperhatikan laki-laki itu dengan detail. Ara terkesan pada mata lelah dan rambutnya yang ditata acak, tampak cerdas dan hangat.
“Aku juga ingin coca-cola,” tambah Ara.
Setelah menerima cokelat dan sebotol minuman, ia mengucapkan terima kasih lalu berbalik membelakangi kedai. Hujan turun kian deras. Beberapa anak kecil telanjang dada berlari-lari bermain hujan di tengah taman. Di kejauhan, Juan masih tekun di dengan bukunya. Ara menengadah, beberapa awan bergerombol di atas sana, seakan langit sedang tertidur dalam kedinginan.
“Hujannya lumayan deras,” kata laki-laki itu.
“Iya, kami terjebak dan tak bisa pulang.”
Keduanya kini berdiri berdampingan di dekat tiang penyangga yang letaknya merapat ke dinding, tidak jauh dari bangku tempat laki-laki itu tadi membaca surat kabar, dan menghadap ke arah bunga-bunga matahari yang diterpa hujan.
“Sepertinya kamu sering datang kemari.”
“Iya, dulu, tapi sudah lama sekali,” kata Ara. “Bunga-bunga matahari ini selalu dirawat dengan baik ya.”
“Begitulah,” ujar si lelaki.
“Aku jadi ingat sebuah dongeng tentang bunga matahari,” kata Ara, ia membuka minuman kalengnya lalu menyeruputnya pelan-pelan.
“Apa kau sedang mengingat dongeng Yunani?”
Ara menatap ke arah si lelaki, “Kau juga tahu?”
Si lelaki kontan tersenyum.
“Ya, kau ingat, Nimfa[1] yang bernama Clytie,” kata si lelaki. “Ia jatuh cinta pada Dewa Matahari bernama Helios dan rela memandangi Helios selama delapan hari delapan malam tanpa makan, minum ataupun tidur.”
“Meskipun Helios tak membalas cintanya, ah, sungguh malang,” gumam Ara.
“Dan di hari ke sembilan, dari kaki Clytie tumbuh akar dan tubuhnya berubah menjadi batang tanaman,” kata si lelaki. “Wajahnya perlahan-lahan menjadi bunga yang anggun dan selalu menghadap matahari.”
Mereka sama-sama tertawa. Seorang perempuan melintas di jalan, mantel hujan yang ia kenakan nampak mengkilap. Tak lama, si lelaki kembali ke dalam kedai lalu keluar dengan sebuah payung.
“Pakai saja payung ini,” katanya.
Ara menatap ke arah si lelaki.
“Kau tidak boleh basah seperti bunga-bunga matahari itu,” tambah si lelaki penjaga kedai.
Ara menatap kosong ke tempat Juan sedang berteduh lalu menerima payung tersebut, “Terima kasih,” katanya.
Ia melangkah menyeberangi taman sambil memutar-mutarkan payungnya. Payung hijau muda itu terlihat seperti kincir angin yang dipasang di atap-atap rumah bercorak Eropa. Ia berputar tidak lambat dan tidak terlalu cepat. Di tengah hujan, kincir itu tetap berputar memercikkan bulir-bulir air. Laki-laki penjaga kedai mengamatinya hingga payung itu kembali menguncup.
“Sudah beli cokelatnya?” tanya Juan saat melihat Ara sudah duduk lagi di sampingnya.
“Iya,” kata Ara, meletakkan payung di pinggir bangku semen.
Juan masih membaca.
“Aku beli coklat hitam dan coca-cola,” kata Ara. “Apa kau mau?”
“Tidak. Terima kasih.”
“Apa tidak mau coba sedikit?”
“Ya nanti saja.”
Ara melihat sebentar ke buku Juan.
“Ceritanya seru ya?”
“Ya, tentu saja,” kata Juan. “Ceritanya cukup menegangkan.”
Ara membuka bungkus cokelat, lalu memakannya sedikit-sedikit.
“Coklat ini enak sekali,” katanya.
Juan tetap membaca dan tidak memperdulikan apa yang dikatakan kekasihnya.
Ara meletakkan sisa minumannya di meja, lalu berdiri dan berjalan ke depan memperhatikan hujan yang semakin deras sambil merasakan pahit cokelat di lidahnya. Rasa pahit itu mengingatkannya pada suasana pagi tadi ketika Juan tiba-tiba mengajaknya ke taman untuk memotret bunga-bunga matahari sambil menikmati akhir pekan. Tapi hujan menahan mereka hingga sore begini.
“Bagaimana kalau hujannya tidak berhenti sampai tengah malam?” tanya Ara.
Juan mengangkat muka dan melihat Ara sejenak.
“Kita terpaksa pulang basah-basah.”
“Tapi aku merasa tidak nyaman,” kata Ara. “Tidak nyaman memakai dress saat sedang hujan. Apalagi kalau nanti basah, baju dalamku pasti kelihatan.”
Juan berhenti membaca. Melihat pakaian yang dikenakan Ara, “Kau bisa pakai jaketku nanti,” katanya.
“Tapi aku ingin menunggu hujan reda.”
“Terserah padamu saja,” ujar Juan. Lalu matanya tertuju ke sudut bangku, “Payung siapa ini?”
“Laki-laki di kedai itu meminjamkannya untukku.”
“Tidak baik pinjam-pinjam begitu.”
“Iya, nanti kukembalikan, lagi pula dia tidak tega melihatku kebasahan.”
Ara menadahkan tangannya ke depan, membasahi telapak tangannya dengan air hujan dari atap. Lampu-lampu jalan mulai menyala, juga lampu di depan kedai milik si lelaki. Cahayanya terlihat kabur, mengingatkan Ara pada ratusan lilin yang dinyalakan di atas sungai di India.
“Ayo kita pulang, hujannya tidak akan berhenti,” kata Juan. Ia mengemasi buku-bukunya.
“Nanti saja, aku suka di sini,” sahut Ara.
“Kapan-kapan kita bisa ke sini lagi.”
“Tapi itu beda momennya.”
“Ya, tapi kita harus pulang sekarang,” ujar Juan.
Ara menatap Juan tanpa berkata apa-apa. Tubuhnya telah lebih dulu menggigil sebelum berada di bawah hujan, seperti bunga-bunga matahari yang daun-daunnya telah terkulai. Dari kedai si lelaki mengalun lagu Rolling Stones, The Place is Empty.

Bandarlampung, 2014




[1]Nimfa dalam mitologi Yunani adalah salah satu kaum dari makhluk legendaris yang berwujud wanita, tinggal di tempat-tempat tertentu dan menyatu dengan alam.


No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara